Di bawah ini
diutarakan beberapa fasal, yang diharapkan bisa diterima para (calon) wartawan
dalam usaha kita ke arah efisien penulisan.
HEMAT
Penghematan
diarahkan ke penghematan ruangan dan waktu. Ini bisa dilakukan di dua lapisan:
(1)
unsur kata
(2)
unsur kalimat
Penghematan Unsur Kata
1a) Beberapa kata
Indonesia sebenarnya bisa dihemat tanpa mengorbankan tatabahasa dan jelasnya
arti. Misalnya:
agar supaya ................. agar, supaya
akan tetapi ................. tapi
apabila ................. bila
sehingga ................. hingga
meskipun ................. meski
walaupun ................. walau
tidak ................. tak (kecuali diujung kalimat atau berdiri
sendiri).
1b) Kata daripada atau dari pada juga sering bisa disingkat jadi dari.
Misalnya:
''Keadaan lebih
baik dari pada zaman sebelum
perang'', menjadi ''Keadaan lebih baik sebelum perang''. Tapi mungkin masih
janggal mengatakan: ''Dari hidup
berputih mata, lebih baik mati berputih tulang''.
1c) Ejaan yang
salahkaprah justru bisa diperbaiki dengan menghemat huruf. Misalnya:
sjah ......... sah
khawatir ......... kuatir
akhli ......... ahli
tammat ......... tamat
progressive ......... progresif
effektif ......... efektif
Catatan: Kesulitan
pokok kita di waktu yang lalu ialah belum adanya ejaan standard bahasa
Indonesia. Kita masih bingung, dan berdebat, tentang: roch atau roh? Zaman atau jaman? Textil atau tekstil? Kesusasteraan atau kesusastraan?
Tehnik atau teknik? Dirumah atau di rumah?
Musah-mudahan
dengan diputuskannya suatu peraturan ejaan standard, kita tak akan terus
bersimpang-siur seperti selama ini. Ejaan merupakan unsur dasar bahasa
tertulis. Sebagai dasar, ia pegang peranan penting dalam pertumbuhan bahasa,
misalnya buat penciptaan kata baru, pemungutan kata dari bahasa lain dan
sebagainya.
1d) Beberapa kata
mempunyai sinonim yang lebih pendek. Misalnya:
kemudian = lalu
makin = kian
terkedjut = kaget
sangat = amat
demikian = begitu
sekarang = kini
Catatan: Dua kata
yang bersamaan arti belum tentu bersamaan efek, sebab bahasa bukan hanya soal
perasaan. Dalam soal memilih sinonim yang telah pendek memang perlu ada
kelonggaran, dengan mempertimbangkan rasa bahasa.
Penghematan Unsur Kalimat
Lebih efektif dari
penghematan kata ialah penghematan melalui struktur kalimat. Banyak contoh
pembikinan kalimat dengan pemborosan kata.
2a) Pemakaian kata
yang sebenarnya tak perlu, di awal kalimat:
-
''Adalah merupakan kenyataan, bahwa
percaturan politik internasional berubah-ubah setiap zaman''.
(Bisa disingkat: ''Merupakan kenyataan, bahwa
................'').
-
''Apa yang dinyatakan Wijoyo Nitisastro
sudah jelas''.
(Bisa disingkat: ''Yang dinyatakan Wijoyo
Nitisastro...........'').
2b) Pemakaian apakah atau apa (mungkin pengaruh bahasa daerah) yang sebenarnya bisa
ditiadakan:
-
''Apakah Indonesia akan terus tergantung
pada bantuan luar negeri''?
(Bisa disingkat: ''Akan terus tergantungkah Indonesia.....'').
-
Baik kita lihat, apa(kah) dia di rumah atau tidak''.
(Bisa disingkat: ''Baik kita lihat, dia di rumah
atau tidak'').
2c) Pemakaian dari sebagai terjemahan of (Inggris) dalam hubungan milik yang
sebenarnya bisa ditiadakan; Juga daripada.
-
''Dalam hal ini
pengertian dari Pemerintah
diperlukan''.
(Bisa disingkat: ''Dalam hal ini pengertian
Pemerintah diperlukan''.
-
''Sintaksis adalah
bagian daripada Tatabahasa''.
(Bisa disingkat: ''Sintaksis adalah bagian
Tatabahasa'').
2d) Pemakaian untuk sebagai terjemahan to (Inggris) yang sebenarnya bisa
ditiadakan:
-
''Uni Soviet
cenderung untuk mengakui hak-hak India''.
(Bisa disingkat: ''Uni Soviet cenderung
mengakui............'').
-
''Pendirian
semacam itu mudah untuk dipahami''.
(Bisa disingkat: ''Pendirian semacam itu mudah dipahami'').
-
''GINSI dan
Pemerintah bersetuju untuk memperbaruhi prosedur barang-barang modal''.
(Bisa disingkat: ''GINSI dan Pemerintah bersetuju
memperbaruhi.......'').
Catatan: Dalam
kalimat: ''Mereka setuju untuk tidak
setuju'', kata untuk demi kejelasan dipertahankan.
2e) Pemakaian adalah sebagai terjemahan is atau are (Inggris) tak selamanya perlu:
-
''Kera adalah
binatang pemamah biak''.
(Bisa disingkat ''Kera binatang pemamah biak'').
Catatan: Dalam
struktur kalimat lama, adalah
ditiadakan, tapi kata itu
ditambahkan, misalnya dalam kalimat: ''Pikir itu pelita hati''. Kita bisa memakainya, meski lebih baik
dihindari. Misalnya kalau kita harus menterjemahkan ''Man is a better driver
than woman'', bisa mengacaukan bila disalin: ''Pria itu pengemudi yang lebih baik dari wanita''.
2f) Pembubuhan akan, telah, sedang sebagai
penunjuk waktu sebenarnya bisa dihapuskan, kalau ada keterangan waktu:
-
''Presiden besok akan meninjau pabrik ban Good
year''.
(Bisa disingkat: ''Presiden besok meninjau pabrik.........'').
-
''Tadi telah
dikatakan ........''
(Bisa disingkat: ''Tadi dikatakan.'').
-
''Kini Clay sedang sibuk mempersiapkan diri''.
(Bisa disingkat: ''Kini Clay mempersiapkan diri'').
2g) Pembubuhan bahwa sering bisa ditiadakan:
-
''Pd. Gubernur Ali
Sadikin membantah desas-desus yang mengatakan bahwa ia akan diganti''.
-
''Tidak diragukan
lagi bahwa ialah orangnya yang
tepat''. (Bisa disingkat: ''Tak diragukan lagi, ialah orangnya yang tepat''.).
Catatan: Sebagai
ganti bahwa ditaruhkan koma, atau
pembuka (:), bila perlu.
2h) Yang, sebagai penghubung kata benda
dengan kata sifat, kadang-kadang juga bisa ditiadakan dalam konteks kalimat
tertentu:
-
''Indonesia harus
menjadi tetangga yang baik dari Australia''.
(Bisa disingkat: ''Indonesia harus menjadi tetangga
baik Australia'').
-
''Kami adalah pewaris yang sah dari kebudayaan dunia''.
2i) Pembentukan
kata benda (ke + ..... + an atau pe + ........ + an) yang
berasal dari kata kerja atau kata sifat, kadang, kadang, meski tak selamanya,
menambah beban kalimat dengan kata yang sebenarnya tak perlu:
-
''Tanggul kali
Citanduy kemarin mengalami kebobolan''.
(Bisa dirumuskan: ''Tanggul kali Citanduy kemarin bobol'').
-
''PN Sandang menderita kerugian Rp 3 juta''.
(Bisa dirumuskan: ''PN Sandang rugi Rp 3 juta'').
-
''Ia telah tiga
kali melakukan penipuan terhadap
saya''
(Bisa disingkat: ''Ia telah tiga kali menipu saya'').
-
Ditandaskannya
sekali lagi bahwa DPP kini sedang memikirkan langkah-langkah untuk mengadakan peremajaan dalam tubuh
partai''.
(Bisa
dirumuskan: ''Ditandaskannya sekali lagi, DPP sedang memikirkan langkah-langkah
meremajakan tubuh partai'').
2j) Penggunaan
kata sebagai dalam konteks ''dikutip
sebagai mengatakan'' yang belakangan ini sering muncul (terjemahan dan pengaruh
bahasa jurnalistik Inggris & Amerika), masih meragukan nilainya buat bahasa
jurnalistik Indonesia. Memang, dalam kalimat yang memakai rangkaian kata-kata
itu (bahasa Inggrisnya ''quoted as
saying'') tersimpul sikap berhati-hati memelihat kepastian berita. Kalimat
''Dirjen Pariwisata dikutip sebagai mengatakan......'' tak menunjukkan Dirjen
Pariwisata secara pasti mengatakan hal yang dimaksud; di situ si reporter
memberi kesan ia mengutipnya bukan dari tangan pertama, sang Dirjen Pariwisata
sendiri. Tapi perlu diperhitungkan mungkin kata sebagai bisa dihilangkan saja, hingga kalimatnya cukup berbunyi:
''Dirjen Pariwisata dikutip mengatakan...........''.
Bukankah masih
terasa kesan bahwa si reporter tak mengutipnya dari tangan pertama?
Lagipula, seperti
sering terjadi dalam setiap mode baru, pemakaian sebagai biasa menimbulkan
ekses.
Contoh: Ali
Sadikin menjelaskan tetang pelaksanaan membangun proyek miniatur Indonesia itu sebagai berkata: ''Itu akan dilakukan
dalam tiga tahap'' Harian Kami, 7
Desember 1971, halaman 1). Kata sebagai
dalam berita itu samasekali tak tepat, selain boros.
2k) Penggunaan dimana, kalau tak hati-hati, juga bisa
tak tepat dan boros. Dimana sebagai
kataganti penanya yang berfungsi sebagai kataganti relatif muncul dalam bahasa
Indonesia akibat pengaruh bahasa Barat.
1)
Dr. C. A. Mees,
dalam Tatabahasa Indonesia (G. Kolff
& Co., Bandung, 1953 hal. 290-294) menolak pemakaian dimana. Ia juga menolak pemakaian pada siapa, dengan siapa,
untuk diganti dengan susunan kalimat Indonesia yang ''tidak meniru jalan bahasa
Belanda'', dengan mempergunakan kata tempat,
kawan atau teman. Misalnya: ''orang tempat
dia berutang'' (bukan: pada siapa ia
berutang); ''orang kawannya berjanji
tadi'' (bukan: orang dengan siapa ia
berjanji tadi).
Bagaimana
kemungkinannya untuk bahasa jurnalistik?
Misalnya: ''Rumah dimana saya diam'', yang berasal dari
''The house where I live in'', dalam
bahasa Indonesia semula sebenarnya cukup berbunyi: ''Rumah yang saya diami''. Misal lain: ''Negeri dimana ia dibesarkan'', dalam bahasa Indonesia semula berbunyi:
''Negeri tempat ia dibesarkan''.
Dari kedua misal
itu terasa bahasa Indonesia semula lebih luwes, kurang kaku. Meski begitu tak
berarti kita harus mencampakkan kata dimana sama sekali dari pembentukan
kalimat bahasa Indonesia. Hanya sekali lagi perlu ditegaskan: penggunaan dimana, kalau tak hati-hati, bisa tak
tepat dan boros. Saya ambilkan 3 contoh ekses penggunaan dimana dari 3 koran:
Kompas, 4
Desember 1971, halaman I:
''Penyakit itu
dianggap berasal (dan disebarkan) oleh serdadu-serdadu Amerika (GI) dimana konsentrasi besar mereka ada di
Vietnam''.
Sinar Harapan, 24 November 1971, halaman III:
''Pihak Kejaksaan
Tinggi Sulut di Menado dewasa ini sedang menggarap 9 buah perkara tindak pidana
korupsi, dimana ke-9 buah perkara
tsb. sebagian sudah dalam tahap penuntutan, selainnya masih dalam pengusutan.''
Abadi, 6
Desember 1971, halaman II:
''Selanjutnya
dinyatakan bahwa keadaan ekonomi dan moneter dunia dewasa ini masih belum
menentu, dimana secara tidak
langsung telah dapat mempengaruhi usaha-usaha pemerintah di dalam menjaga
kestabilan, baik untuk perluasan produksi ekonomi dan peningkatan ekspor''.
Dalam ketiga
contoh kecerobohan pemakaian dimana
itu tampak: kata tersebut tak menerangkan tempat, melainkan hanya berfungsi
sebagai penyambung satu kalimat dengan kalimat lain. Sebetulnya masing-masing
bisa dirumuskan dengan lebih hemat:
-
''Penyakit itu
dianggap berasal (dan disebarkan) serdadu-serdadu Amerika (GI), yang konsentrasi besarnya ada di
Vietnam''.
-
''Pihak Kejaksaan
Tinggi Sulut di Menado dewasa ini menggarap 9 perkara tindak pidana korupsi.
Ke-9 perkata tsb. sebagian sudah dalam tahap penuntutan, selainnya (sisanya)
masih dalam pengusutan''.
-
''Selanjuntya
dinyatakan bahwa keadaan ekonomi dan moneter dewasa ini masih belum menentu. Hal ini secara tidak langsung telah
dapat..... dst''.
Perhatikan:
- Kalimat itu dijadikan dua, selain bisa menghilangkan dimana, juga menghasilkan kalimat-kalimat pendek.
- ''dewasa ini sedang'' cukup jelas dengan ''dewasa ini''.
- kata ''9 buah'' bisa dihilangkan ''buah''-nya sebab kecuali dalam konteks tertentu, kata penunjuk-jenis (dua butir telor, 5 ekor kambing, 7 sisir pisang) kadang-kadang bisa ditiadakan dalam bahasa Indonesia mutahir.
- Kalimat dijadikan dua. Kalimat kedua ditambahi Hal ini atau cukup Ini diawalnya.
2l) Dalam beberapa
kasus, kata yang berfungsi menyambung satu kalimat dengan kalimat lain
sesudahnya juga bisa ditiadakan, asal hubungan antara kedua kalimat itu secara
implisit cukup jelas (logis) untuk menjamin kontinyuitas. Misalnya:
-
''Bukan kebetulan
jika Gubernur menganggap proyek itu bermanfaat bagi daerahnya. Sebab 5 tahun mendatang, proyek itu
bisa menampung 2500 tenaga kerja setengah terdidik''. (Kata sebab diawal kalimat kedua bisa
ditiadakan: hubungan kausal antara kedua kalimat secara implisit sudah jelas).
-
''Pelatih PSSI
Witarsa mengakui kekurangan-kekurangan di bidang logistik anak-anak asuhnya. Kemudian ia juga menguraikan perlunya
perbaikan gizi pemain'' (Kata kemudian
diawal kalimat kedua bisa ditiadakan; hubungan kronologis antara kedua kalimat
secara implisit cukup jelas).
Tak perlu
diuraikan lebih lanjut, bahwa dalam hal hubungan kausal dan kronologi saja kata
yang berfungsi menyambung dua kalimat yang berurutan bisa ditiadakan. Kata tapi, walau atau meski yang
mengesankan ada yang yang mengesankan adanya perlawanan tak bisa ditiadakan.
JELAS
Setelah
dikemukakan 16 pasal yang merupakan pedoman dasar penghematan dalam menulis, di
bawah ini pedoman dasar kejelasan dalam menulis. Menulis secara jelas
membutuhkan dua prasyarat:
- Si penulis harus memahami betul soal yang mau ditulisnya, bukan juga pura-pura paham atau belum yakin benar akan pengetahuannya sendiri.
- Si penulis harus punya kesadaran tentang pembaca.
Memahami betul
soal-soal yang mau ditulisnya berarti juga bisa menguasai bahan penulisan dalam
suatu sistematik. Ada orang yang sebetulnya kurang bahan (baik hasil
pengamatan, wawancara, hasil bacaan, buah pemikiran) hingga tulisannya cuma
mengambang. Ada orang yang terlalu banyak bahan, hingga tak bisa membatasi
dirinya: menulis terlalu panjang. Terutama dalam penulisan jurnalistik, tulisan
kedua macam orang itu tak bisa dipakai. Sebab penulisan jurnalistik harus
disertai informasi faktuil atau detail pengalaman dalam mengamati, berwawancara
dan membaca sumber yang akurat. Juga harus dituangkan dalam waktu dan ruangan
yang tersedia. Lebih penting lagi ialah kesadaran tentang pembaca.
Sebelum kita
menulis, kita harus punya bayangan (sedikit-sedikitnya perkiraan) tentang
pembaca kita: sampai berapa tinggi tingkat informasinya? Bisakah tulisan saya ini
mereka pahami? Satu hal yang penting sekali diingat: tulisan kita tak hanya
akan dibaca seorang atau sekelompok pembaca tertentu saja, melainkan oleh suatu
publik yang cukup bervariasi dalam tingkat informasi. Pembaca harian atau
majalah kita sebagian besar mungkin mahasiswa, tapi belum tentu semua tau
sebagian besar mereka tahu apa dan siapanya W. S. Renda atau B. M. Diah.
Menghadapi soal ini, pegangan penting buat penulis jurnalistik yang jelas
ialah: buatlah tulisan yang tidak
membingungkan orang yang yang belum tahu, tapi tak membosankan orang yang sudah
tahu. Ini bisa dicapai dengan praktek yang sungguh-sungguh dan
terus-menerus.
Sebuah tulisan
yang jelas juga harus memperhitungkan syarat-syarat teknis komposisi:
- tanda baca yang tertib.
- ejaan yang tidak terlampau menyimpang dari yang lazim dipergunakan atau ejaan standard.
- pembagian tulisan secara sistematik dalam alinea-alinea. Karena bukan tempatnya di sini untuk berbicara mengenai komposisi, cukup kiranya ditekankan perlunya disiplin berpikir dan menuangkan pikiran dalam menulis, hingga sistematika tidak kalang-kabut, kalimat-kalimat tidak melayang kesana-kemari, bumbu-bumbu cerita tidak berhamburan menyimpang dari hal-hal yang perlu dan relevan.
Menuju kejelasan
bahasa, ada dua lapisan yang perlu mendapatkan perhatian:
- unsur kata.
- unsur kalimat.
1a. Berhemat dengan kata-kata asing. Dewasa
ini begitu derasnya arus istilah-istilah asing dalam pers kita. Misalnya: income per capita, Meet the Press, steam-bath,
midnight show, project officer, two China
policy, floating mass, program-oriented, floor-price, City Hall, upgrading, the best photo of the year, reshuffle,
approach, single, seeded dan apa lagi.
Kata-kata itu
sebenarnya bisa diterjemahkan, tapi dibiarkan begitu saja. Sementara diketahui
bahwa tingkat pelajaran bahasa Inggris sedang merosot, bisa diperhitungkan
sebentar lagi pembaca koran Indonesia akan terasing dari informasi, mengingat
timbulnya jarak bahasa yang kian melebar. Apalagi jika diingat rakyat
kebanyakan memahami bahasa Inggris sepatah pun tidak.
Sebelum terlambat,
ikhtiar menterjemahkan kata-kata asing yang relatif mudah diterjemahkan harus
segera dimulai. Tapi sementara itu diakui: perkembangan bahasa tak berdiri
sendiri, melainkan ditopang perkembangan sektor kebudayaan lain. Maka sulitlah
kita mencari terjemahan lunar module,
feasibility study, after-shave lotion, drive-in, pant-suit, technical
know-how, backhand drive, smash, slow motion, enterpeneur,
boom, longplay, crash program,
buffet dinner, double-breast, dll., karena pengertian-pengertian itu tak berasal
dari perbendaharaan kultural kita. Walau begitu, ikhtiar mencari salinan
Indonesia yang tepat dan enak (misalnya bell-bottom
dengan ''cutbrai'') tetap perlu.
1b. Menghindari sejauh mungkin akronim.
Setiap bahasa mempunyai akronim, tapi agaknya sejak 15 tahun terakhir, pers
berbahasa Indonesia bertambah-tambah gemar mempergunakan akronim, hingga sampai
hal-hal yang kurang perlu. Akronim mempunyai manfaat: menyingkat ucapan dan
penulisan dengan cara yang mudah diingat.
Dalam bahasa
Indonesia, yang kata-katanya jarang bersukukata tunggal dan yang rata-rata
dituliskan dengan banyak huruf, kecenderungan membentuk akronim memang lumrah.
''Hankam'', ''Bappenas'', ''Daswati'',
''Humas'' memang lebih ringkas dari
''Pertahanan & Keamanan'' ''Badan Perencanaan Pembangunan Nasional'',
''Daerah Swantantra Tingkat'' dan ''Hubungan Masyarakat''.
Tapi kiranya akan
teramat membingungkan kalau kita seenaknya saja membikin akronim sendiri dan
terlalu sering. Di samping itu, perlu diingat: ada yang membuat akronim untuk
alasan praktis dalam dinas (misalnya yang dilakukan kalangan ketentaraan), ada
yang membuat akronim untuk bergurau, mengejek dan mencoba lucu (misalnya di
kalangan remaja sehari-hari: ''ortu''
untuk ''orangtua''; atau di pojok
koran: ''keruk nasi'' untuk ''kerukunan nasional'') tapi ada pula
yang membuat akronim untuk menciptakan efek propaganda dalam permusuhan politik
(misalnya ''Manikebu'' untuk ''Manifes Kebudayaan'', ''Nekolim'' untuk ''neo-kolonialisme''. ''Cinkom''
untuk ''Cina Komunis'', ''ASU'' untuk ''Ali Surachman''). Bahasa jurnalistik, dari sikap objektif,
seharusnya menghindarkan akronim jenis terakhir itu. Juga akronim bahasa pojok
sebaiknya dihindarkan dari bahasa pemberitaan, misalnya ''Djagung'' untuk
''Djaksa Agung'', ''Gepeng'' untuk ''Gerakan Penghematan'', ''sas-sus'' untuk
''desas-desus''.
Saya tak bermaksud
memberikan batas yang tegas akronim mana saja yang bisa dipakai dalam bahasa
pemberitaan atau tulisan dan mana yang tidak. Saya hanya ingin mengingatkan:
akronim akhirnya bisa mengaburkan pengertian kata-kata yang diakronimkan,
hingga baik yang mempergunakan ataupun yang membaca dan yang mendengarnya bisa
terlupa akan isi semula suatu akronim. Misalnya akronim ''Gepeng'' jika
terus-menerus dipakai bisa menyebabkan kita lupa makna ''gerakan'' dan
''penghematan'' yang terkandung dalam maksud semula, begitu pula akronim
''ASU''. Kita makin lama makin alpa buat apa merenungkan kembali makna semula
sebelum kata-kata itu diakronimkan. Sikap analitis dan kritis kita bisa hilang
terhadap kata berbentuk akronim itu, dan itulah sebabnya akronim sering
dihubungkan dengan bahasa pemerintahan totaliter dan sangat penting dalam
bahasa Indonesia.
Tapi seperti
halnya dalam asas penghematan, asas kejelasan juga lebih efektif jika dilakukan
dalam struktur kalimat. Satu-satunya untuk itu ialah dihindarkannya kalimat-kalimat majemuk yang paling panjang anak
kalimatnya; terlebih-lebih lagi, jika kalimat majemuk itu kemudian bercucu
kalimat.
Pada dasarnya
setiap kalimat yang amat panjang, lebih dari 15-20 kata, bisa mengaburkan hal
yang lebih pokok, apalagi dalam bahasa jurnalistik. Itulah sebabnya penulisan
lead (awal) berita sebaiknya dibatasi hingga 13 kata. Bila lebih panjang dari
itu, pembaca bisa kehilangan jejak persoalan. Apalagi bila dalam satu kalimat
terlalu banyak data yang dijejalkan.
Contoh:
Harian Kami, 4 Desember 1971, halaman 1:
''Sehubungan
dengan berita 'Harian Kami' tanggal 25 November 1971 hari Kamis berjudul:
'Tanah Kompleks IAIN Ciputat dijadikan Objek Manipulasi' (berdasarkan
keterangan pers dari Hamdi Ajusa, Ketua Dewan Mahasiswa IAIN Djakarta) maka
pada tanggal 28 November jbl. di Kampus IAIN tersebut telah diadakan pertemuan
antara pihak Staf JPMII (Jajasan Pembangunan Madrasah Islam & Ihsan - Perwakilan
Ciputat) dengan Hamdi Ajusa mewakili DM IAIN dengan maksud untuk mengadakan
'clearing' terhadap berita itu.''
Perhatikan:
Kalimat itu terdiri dari 60 kata lebih. Sebagai pembaca, saya memerlukan dua
kali membacanya untuk memahami yang ingin dinyatakan sang wartawan. Pada
pembacaan pertama, saya kehilangan jejak perkara yang disajikan di hadapan
saya. Ini artinya suatu komunikasi cepat tak tercapai. Lebih ruwet lagi soalnya
jika bukan saja pembaca yang kehilangan jejak dengan dipergunakannya kalimat-kalimat
panjang, tapi juga si penulis sendiri.
Pedoman, 4 Desember 1971, halaman IV:
''Selama tour
tersebut sambutan masyarakat setempat di
mana mereka mengadakan pertunjukan mendapat
sambutan hangat.''
Perhatikan:
Penulis kehilangan subjek semula kalimatnya sendiri, yakni sambutan masyarakat
setempat. Akibatnya kalimat itu berarti, ''yang mendapat sambutan hangat ialah
sambutan masyarakat setempat.''
Sinar Harapan, 22 November 1971, halaman VII:
''Di
kampung-kampung kelihatan lebaran lebih bersemarak, ketupat beserta sayur dan
sedikit daging semur, opor ayam ikut berlebaran. Dari rumah yang satu ke rumah
yang lain, ketupat-ketupat tersebut
saling mengunjungi dan di langgar-langgar, surau-surau ramai pula
ketupat-ketupat, daging semur, opor ayam disantap bersama oleh mereka.''
Perhatikan: Siapa yang dimaksud dengan kata ganti mereka dalam kalimat itu? Si penulis
nampaknya lupa bahwa ia sebelumnya tak pernah menyebut ''orang-orang kampung''.
Mengingat dekat sebelum itu ada kalimat ketupat-ketupat
tersebut saling mengunjungi dan kalimat surau-surau ramai pula ketupat-ketupat, kalimat panjang itu bisa
berarti aneh dan lucu: ''daging semur, opor ayam disantap bersama oleh
ketupat-ketupat.
[selesai]
0 komentar:
Posting Komentar